Picture
Waktu saya umur 17 tahun, saya pergi ke Jamaica sendiri. Saya Ingat waktu itu saya merasa merdeka total! Semuanya yang saya butuhkan ada di dalam ransel saya, dan di tangan saya terikat satu peluit dari Ibu saya. Ibu saya bilang, "Kalau kamu ketemu situasi yang berbahaya, bunyikan peluit ini!" Itu karena Kingston, Jamaica, waktu itu disebut "Ibu Kota Pembunuhan Sedunia". Untung saya tidak pernah ketemu masalah besar, tapi Jamaica sangat membuka mata saya. Saya bisa kunjungi rumah Bob Marley. Di rumahnya, sampai saat ini masih bisa lihat bekas peluruh dari serangan "Ambush in the Night". Saya coba melihat dunia lewat mata dia, dan baru bisa lihat dunia yang belum adil dan jauh berbeda dari negara saya. Saya lihat kemiskinan, pemuda yang pegang senjata, dan racism, tapi juga kesadaran dan kebaikan yang tak terbatas. Ketika di Kingston, saya ketemu seorang lelaki bernama Joseph. Tidak lama kemudian dia menjadi pacar saya. Saya masih mau mengeksplor Jamaica, tapi karena pacar saya sudah menjadi korban kejahatan (gara-gara jalan sama orang putih) kami pindah ke Ocho Rios. Saya bikin dan jual kalung dan lilin di jalan, dan juga jual ke toko-toko. Cukuplah untuk makan, tapi economy di Jamaica saat itu susah juga. Saya merasa saya bekerja paling keras seumur hidup waktu itu dan hanya menghasilkan uang cukup untuk makan dan membeli bahan lilin untuk berkarya lagi. Walau saya rasa bersyukur saya punya kesempatan tinggal disana, racism, kemiskinan, dan kekerasan membikin saya putus asa untuk tinggal disana. Pada saat itulah saya putuskan untuk pindah. Ibu saya sudah kerja di Swedia waktu itu jadi saya coba pergi ke sana dulu. Hanya satu hal yang saya tahu, saya tidak bisa lagi tinggal di Kanada karena dunia luas ini masih punya banyak pengalaman bagi saya yang belum saya jumpai.
h
A
m
X
Y
e
B
e
H
g
K
n
A
h
S
u
O
h
P